Segala puji bagi Allah Ta’ala atas segala macam nikmat
yang telah diberikan-Nya. Dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, para sahabatnya dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Segala puji bagi Allah, pada saat ini Allah telah
menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan melalui kumpulan
awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ
الْمَاءَ
الَّذِي
تَشْرَبُونَ
(68) أَأَنْتُمْ
أَنْزَلْتُمُوهُ
مِنَ
الْمُزْنِ
أَمْ
نَحْنُ
الْمُنْزِلُونَ
(69)
”Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.
Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah
[56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ
الْمُعْصِرَاتِ
مَاءً
ثَجَّاجًا
(14)
”Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.”
(QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَتَرَى
الْوَدْقَ
يَخْرُجُ
مِنْ
خِلَالِهِ
”Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari celah-celah awan.[1]
Merupakan tanda kekuasaan Allah Ta’ala, kesendirian-Nya
dalam menguasai dan mengatur alam semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah
yang tandus yang tidak tumbuh tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah
tanaman yang indah untuk dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian
dalam firman-Nya,
وَمِنْ
آيَاتِهِ
أَنَّكَ
تَرَى
الأرْضَ
خَاشِعَةً
فَإِذَا
أَنْزَلْنَا
عَلَيْهَا
الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ
وَرَبَتْ
إِنَّ
الَّذِي
أَحْيَاهَا
لَمُحْيِي
الْمَوْتَى
إِنَّهُ
عَلَى
كُلِّ
شَيْءٍ
قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat
bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia
bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat
menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan, yang Allah turunkan untuk menghidupkan
tanah yang mati. Sebagaimana pembaca dapat melihat pada daerah yang kering dan
jarang sekali dijumpai air seperti Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun,
datanglah keberkahan dengan mekarnya kembali berbagai tanaman dan pohon jati
kembali hidup setelah sebelumnya kering tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu
kenikmatan yang amat besar.
Sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat hujan yang
telah diberikan ini, sebaiknya kita mengilmui beberapa hal seputar musim hujan.
:: Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan ::
[1] Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala
Mendung
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إِذَا
رَأَى
نَاشِئاً
فِي
أُفُقٍ
مِنْ
آفَاِق
السَمَاءِ،
تَرَكَ
عَمَلَهُ-
وَإِنْ
كَانَ
فِي
صَلَاةٍ-
ثُمَّ
أَقْبَلَ
عَلَيْهِ؛
فَإِنْ
كَشَفَهُ
اللهُ
حَمِدَ
اللهَ،
وَإِنْ
مَطَرَتْ
قَالَ:
“اللَّهُمَّ
صَيِّباً
نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit,
beliau meninggalkan aktivitasnya –meskipun dalam shalat- kemudian beliau
kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi
telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan,
“Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang
bermanfaat].”[2]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ
– صلى
الله
عليه
وسلم
– إِذَا
رَأَى
مَخِيلَةً
فِى
السَّمَاءِ
أَقْبَلَ
وَأَدْبَرَ
وَدَخَلَ
وَخَرَجَ
وَتَغَيَّرَ
وَجْهُهُ
،
فَإِذَا
أَمْطَرَتِ
السَّمَاءُ
سُرِّىَ
عَنْهُ
،
فَعَرَّفَتْهُ
عَائِشَةُ
ذَلِكَ
،
فَقَالَ
النَّبِىُّ
– صلى
الله
عليه
وسلم
– « مَا
أَدْرِى
لَعَلَّهُ
كَمَا
قَالَ
قَوْمٌ
( فَلَمَّا
رَأَوْهُ
عَارِضًا
مُسْتَقْبِلَ
أَوْدِيَتِهِمْ
) »
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat
mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk
atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah
memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallammengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang
terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka
tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah
mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa
seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang
terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu
merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat
sebelumnya.”[4]
[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya Hujan
Apabila Allah memberi nikmat hujan, dianjurkan bagi
seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk membaca do’a,
اللَّهُمَّ
صَيِّباً
ناَفِعاً
“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah
pada kami hujan yang bermanfaat].”
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan
ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin,
’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ
النَّبِىَّ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
كَانَ
إِذَا
رَأَى
الْمَطَرَ
قَالَ
« اللَّهُمَّ
صَيِّباً
نَافِعاً
»
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat
turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah
turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran
untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin
bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah
suatu karunia.”[6]
[3] Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan
Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[7] mengatakan, ”Dianjurkan
untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا
اسْتِجَابَةَ
الدُّعَاءِ
عِنْدَ
ثَلَاثٍ
: عِنْدَ
الْتِقَاءِ
الْجُيُوشِ
،
وَإِقَامَةِ
الصَّلَاةِ
،
وَنُزُولِ
الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1]
Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan
turun.”[8]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ
مَا
تُرَدَّانِ
الدُّعَاءُ
عِنْدَ
النِّدَاءِ
وَ
تَحْتَ
المَطَرِ
“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan
dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.”[9]
[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah
meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau
memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ
حَوَالَيْنَا
وَلَا
عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ
عَلَى
الْآكَامِ
وَالْجِبَالِ
وَالظِّرَابِ
وَبُطُونِ
الْأَوْدِيَةِ
وَمَنَابِتِ
الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal
aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari
[Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya
Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut
lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika hujan semakin lebat,
para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a
agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a di atas.”[11]
Syaikh Sholih As Sadlan mengatakan bahwa do’a di atas
dibaca ketika hujan semakin lebat atau khawatir hujan akan membawa dampak
bahaya.[12]
[5] Mengambil Berkah dari Air Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah
kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan.
Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan
demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ
حَدِيثُ
عَهْدٍ
بِرَبِّهِ
تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[13]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan
itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena
itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari
hujan tersebut.”[14]
An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini
terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian
badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan
tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak
memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu
yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia
mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.”[15]
Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan
pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ
كَانَ
إِذَا
أَمْطَرَتِ
السَّمَاءُ،
يَقُوْلُ:
“يَا
جَارِيَّةُ
! أَخْرِجِي
سَرْجِي،
أَخْرِجِي
ثِيَابِي،
وَيَقُوْلُ:
وَنَزَّلْنَا
مِنَ
السَّمَاءِ
مَاءً
مُبَارَكاً
[ق:
9].
”Apabila turun hujan, beliau mengatakan, ”Wahai jariyah
keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang
artinya], ”Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak
manfaatnya).” (QS. Qaaf [50] : 9)” [16]
[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Dianjurkan untuk berwudhu
dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.”[17]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila air yang deras mengalir,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
اُخْرُجُوا
بِنَا
إلَى
هَذَا
الَّذِي
جَعَلَهُ
اللَّهُ
طَهُورًا
،
فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ
وَنَحْمَدَ
اللّهَ
عَلَيْهِ
”Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah
dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan
air tersebut dan memuji Allah atas nikmat ini.”[18]
Namun, hadits di atas adalah hadits yang lemah karena
munqothi’ (terputus sanadnya) sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas dan shahih,
كَانَ
يَقُوْلُ
إِذَا
سَالَ
الوَادِي
” أُخْرُجُوْا
بِنَا
إِلَى
هَذَا
الَّذِي
جَعَلَهُ
اللهُ
طَهُوْرًا
فَنَتَطَهَّرُ
بِهِ
“
“Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini
yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami
bersuci dengannya.”[20]
[7] Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah
mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan
dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi,
hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap yang seseorang ucapkan,
baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk
dalam catatan malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
مَا
يَلْفِظُ
مِنْ
قَوْلٍ
إِلَّا
لَدَيْهِ
رَقِيبٌ
عَتِيدٌ
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada
di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda,
إِنَّ
الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ
مِنْ
رِضْوَانِ
اللَّهِ
لاَ
يُلْقِى
لَهَا
بَالاً
،
يَرْفَعُ
اللَّهُ
بِهَا
دَرَجَاتٍ
،
وَإِنَّ
الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ
مِنْ
سَخَطِ
اللَّهِ
لاَ
يُلْقِى
لَهَا
بَالاً
يَهْوِى
بِهَا
فِى
جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu
perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan
perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu
perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu
dia dilemparkan ke dalam jahannam.”[21]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan
kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai
kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti
beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut
tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ
اللَّهُ
تَعَالَى
يُؤْذِينِى
ابْنُ
آدَمَ
،
يَسُبُّ
الدَّهْرَ
وَأَنَا
الدَّهْرُ
،
بِيَدِى
الأَمْرُ
،
أُقَلِّبُ
اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu),
padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan
siang menjadi silih berganti.”[22]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ
تَسُبُّوا
الرِّيحَ
”Janganlah kamu mencaci maki angin.”[23]
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa
(waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan
mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki
angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang
mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai
pelaku dari kejelekan yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa
makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk. Ini sama saja dengan
menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan
adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai
sebab saja, maka seperti ini hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan
apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari
ini hujan deras, sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”,
tanpa ada tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]
Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang
terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan mencela Pencipta hujan
yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang
mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita
mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah murka. Semestinya yang dilakukan
ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya sebagaimana telah
diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan
turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah
shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb
kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى
مُؤْمِنٌ
بِى
وَكَافِرٌ
فَأَمَّا
مَنْ
قَالَ
مُطِرْنَا
بِفَضْلِ
اللَّهِ
وَرَحْمَتِهِ.
فَذَلِكَ
مُؤْمِنٌ
بِى
وَكَافِرٌ
بِالْكَوْكَبِ
وَأَمَّا
مَنْ
قَالَ
مُطِرْنَا
بِنَوْءِ
كَذَا
وَكَذَا.
فَذَلِكَ
كَافِرٌ
بِى
مُؤْمِنٌ
بِالْكَوْكَبِ
»
“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman
kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa
rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang
beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan
‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini
dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”[25]
Dari hadits ini terdapat dalil untuk mengucapkan
‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan
rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda syukur atas nikmat hujan yang
diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
mengatakan, ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan karena
sebab bintang-bintang. Hal ini bisa termasuk kufur akbar yang menyebabkan
seseorang keluar dari Islam jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang
menciptakan hujan. Namun kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab,
maka seperti ini termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang
keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya
hujan. Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]
Demikian beberapa amalan yang bisa diamalkan ketikan
hujan turun.
sumber: indonesian.iloveallaah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar